Seputarnews.com /
Artikel yang berjudul pengaruh dan interkulturalisme bahasa melayu terhadap kerajaan Aceh. Yang bersumberkan dari manuskrip yang ditulis oleh ISTIQAMATUNNISAK.
Bahasa merupakan salah satu dari tujuh unsur kebudayaan, dan dianggap sebagai salah satu unsur yang paling mudah dikenali sebagai penanda suatu kebudayaan, karena dalam kehidupan sehari-hari unsur budaya inilah yang biasanya akan lansung diketahui ketika seseorang akan masuk dalam lingkungan sosial yang baru, dalam suatu masyarakat baru.
Begitu halnya dengan bahasa melayu, Bahasa Melayu merupakan Lingua Pranca di wilayah Nusantara yang digunakan oleh masyarakat sebagai bahasa perantara untuk berkomunikasi antar berbagai suku dan bangsa-bangsa asing lainnya. Setelah Islam masuk ke Aceh, kebudayan Aceh mulai dari bidang ekonomi, sosial, dan seni budaya selalu mencerminkan nilai-nilai Islami dan bahasa Melayu digunakan sebagai bahasa perantara untuk berdagang, tetapi tidak begitu berkembang, karena pada zaman sebelum Islam perdagangan di Aceh tidak meluas pasarannya. Setelah masuknya Islam, keadaan perdagangan di Aceh maju dan pasarannya juga tersebar ke pelabuhan-pelabuhan antar bangsa (Al-Attas,1990). Masyarakat Aceh sangat taat beragama, memiliki adat istiadat yang tinggi dan melibatkan sistem budaya dalam berbagai kehidupan, serta kesatuan sosial masyarakat Aceh berakar pada adat dan agama.
Pengaruh Bahasa Melayu pada kerajaan Aceh
Kedatangan Islam membawa pengaruh besar di Aceh, terutama dalam bidang bahasa maupun kesusasteraan, karena sumbangan agama Islam dalam pembentukan dan perkembangan bahasa Melayu sangat besar, yaitu dengan meningkatnya taraf sebagai alat pengucapan intelektual dan sekaligus sebagai “Lingua Franca” untuk berhubungan dengan berbagai-bagai suku bangsa di Aceh. Bahasa Melayu muncul sebagai bahasa pengantar bahkan sebagai bahasa sarjana dan para cendekiawan yang terkemuka. Sejajar dengan pengangkatan taraf bahasa Melayu itu ialah pengenalan abjad Arab Jawoe (Jawi), dan melalui abjad Arab barulah bahasa Melayu menjadi sebagai bahasa sastra yang populer (Abdullah, 1990).
Bahasa melayu juga telah lama menjadi bahasa budaya nusantara, bahasa yang digunakan para pedagang muslim untuk menyebarkan agama islam ke nusantara, dan juga digunakan sebagai bahasa perantara perdagangan, namun tidak berkembang seperti pada zaman pra islam. pasar tidak begitu umum, tetapi setelah kedatangan Islam, situasi perdagangan di Aceh berkembang pesat. Ḥamzah Fanṣūrī banyak mengarang karya tulis dalam bahasa Melayu, meskipun beberapa di antaranya dibakar atas perintah Iskandar thānī dan Nūr al-Dīn al-Ranīrī dan muridnya Syekh Syams al-Dīn ibn ‘Abd Allāh karena dianggap melakukan dosa Islam al Samamrānī juga banyak mengarang literatur berbahasa Arab dan Melayu. Adapun dalam salah satu karyanya Mir’at alMu’min dikemukakannya bahawa mengapa karya satra ditulis dengan bahasa Melayu, karena orang Aceh pada masa itu tidak banyak yang memahami bahasa Arab dan bahasa Parsi, melainkan yang mereka pahami adalah bahasa Pasai atau bahasa Melayu/Jawi (Soelaiman, 2003: 144).
Bahasa Melayu mempunyai pengaruh besar , karena bahasa Melayu selain digunakan sebagai bahasa resmi dan bahasa pengetahuan juga berperan penting dalam penyebaran agama Islam bagi kerajaan Pasai dan Aceh. Darussalam, Bahasa Melayu pun digunakan sebagai bahasa untuk mengungkapkan perasaan, menjadikannya sebagai bahasa sastra, dipadukan dengan syair, syair, pantun, gurindam, dan lain-lain Melayu, menjadikan sastra Melayu berkembang subur di Kerajaan Aceh saat itu (Djajaninggrat, 1981): 270). Padahal, peninggalan budaya banyak yang ditulis dalam bahasa Melayu dan sangat sedikit yang ditulis dalam bahasa Aceh.
Bahasa melayu di aceh berkembang sangat luas terutama dalam bidang sastra, sehingga pada masa itu hampir semua karya ilmiah dan sastra para cendekiawan dan penyair aceh ditulis dalam bahasa melayu, dan karya sastra dan ilmiah tersebut telah menjadi standar seluruh Bacaan-bacaan umum khususnya di wilayah Aceh sebagian besar merupakan bacaan keagamaan terjemahan bahasa Melayu, sekalipun itu tentang rukun iman, rukun Islam, atau ada uraian tentang Ikhsan, amal saleh, dan akhlak (Bakar, 1986). : dua puluh dua).
Seperti yang kita ketahui bersama, abjad khusus Aceh tidak ada, dan aksara masyarakat Aceh ditulis dengan aksara Melayu-Arab, yang oleh masyarakat Aceh disebut “Jawoe”. Sebagian besar karya sastra Aceh ditulis dalam bahasa Arab Jawi, umumnya berbentuk puisi, yaitu puisi dalam huruf Arab, dan jarang yang berbentuk prosa, bahkan sangat sedikit. Bentuk puisi yang sangat populer di kalangan orang Melayu adalah hikayat, dan hikayat dianggap oleh masyarakat Aceh sebagai cerita yang terjadi, beberapa di antaranya memiliki nilai sejarah yang cukup besar.
Bahasa Melayu juga dijadikan sebagai bahasa resmi atau bahasa ilmu pengetahuan di Aceh dan mengalami perkembangan yang sangat pesat sehingga pada saat itu bahasa Melayu dijadikan sebagai bahasa tulisan. Perkembangan bahasa Melayu di Aceh bermula dari bahasa Melayu-Pasai (Jawi-Pasai/Jawoe) ke bahasa Melayu Aceh Darussalam sedangkan pengenalan dengan bahasa dan huruf Arab sejak Islam masuk ke Aceh, yaitu sekitar abad ketujuh Masehi. Ketika kerajaan Samudra Pasai ditaklukkan oleh kerajaan Aceh pada tahun 1524, kerajaan Melayu Pasai berpindah ke Bandar Aceh Darussalam Ibukota kerajaan Aceh, dan semakin memperkuat kedudukan bahasa Jawi dalam kerajaan (Lestari, 2002).
Hal ini dapat dibuktikan dengan berkembangnya karya sastra pada masa kerajaan Aceh Darussalam, dan bahasa Melayu menjadi bahasa resmi kerajaan Aceh Darussalam pada masa itu, sehingga segala peraturan negara seperti undang-undang yang terkenal dengan “Adat Bak Potemoreuhom” ditulis dalam bahasa Melayu (Hanafiah,1993).
Tulisan jawi yang banyak digunakan dalam naskah-naskah kuno adalah tulisan Arab yang dalam penggunaanya digunakan untuk menulis bahasa Melayu. Karya sastra Melayu baik hikayat maupun naskah-naskah ditulis dalam bahasa Melayu (Bakar, 1986), bahkan surat- surat raja, dan tulisan-tulisan lain pada masa itu ditulis dalam bahasa Melayu (Kaoy, 1988).
Proses Interkulturalisme Bahasa Melayu Interkulturalisme berbeda dengan multikulturalisme dalam konteks hubungan antar budaya.
Interkulturalisme mengacu pada bagaimana budaya yang satu mereaksi budaya yang lain, yaitu bagaimana berbagai budaya yang berbeda dapat dipahami, dinilai, diterima atau ditolak dalam satu perpekstif dan tindakan budaya tertentu (penulisan sastra) sehingga dalam proses tersebut secara imajinatif menuju dan menjadi satu bentuk cara kehidupan tetentu yang berbeda dengan kenyataan sesungguhnya, sedangkan multikulturalisme mengarah pada politik kebudayaan untuk saling menghormati dan menghargai perbedaan baik secara individu maupun kemasyarakatan (Salam, 2010).
Aprinus Salam (2010) menyebutkan ada beberapa sudut pandang tentang interkulturasi dan interkulturalisme, pertama yaitu memandang karya sastra sebagai produk interkultur dari proses interkultur yang dialami oleh pengarang. Kedua yaitu melihat teks sastra sebagai medan tekstual bagaimana secara intrinsik budaya-budaya yang berbeda diposisikan, dikelola, dinilai dan kemudian dinarasikan yang hal ini terjadi jika dalam karya tersebut terdapat berbagai karakter (tokoh-tokoh) yang berasal dari budaya ataupun setting yang berbeda.
Ketiga yaitu menempatkan karya sebagai satu karya etnografis tertentu sebagai satu tulisan persentuhan antar budaya, antara pengarang dan budaya tertentu, misal penulis Batak yang menulis tentang masyarakat Sumbawa.
Sedangkan pendekatan terakhir yaitu memandang mekanisme sastra dan interkultur sebagai upaya mengkaji dan menafsirkan karya sastra dalam perspektif budaya penafsir, misalnya bagaimana orang Jawa membaca karya sastra Bugis atau Sunda dan sebagainya. Dari keempat sudut pandang tersebut, penulis memilih dua sudut pandang, yaitu sudut pandang pertama dan kedua.
Bahasa merupakan salah satu situs penting interkulturasi, termasuk tidak mengeluarkan seseorang dari basis kulturalnya (Salam, 2010). Menurut Aprinus Salam ada tujuh katagori mekanisme interkulturasi yaitu:
1. Nasehat dan ideologisasi.
2. Migrasi, akulturasi, dan asimilasi.
3. Pelatihan dan pendisiplinan.
4. Teknologisasi dan industialisasi.
5. Bertambahnya pengalaman.
6. Konflik dan kekerasan.
7. Persuasi kesenian Munculnya bahasa melayu di Aceh merupakan sebuah proses interkulturalisasi.
Dalam sebuah proses interkulturalisasi akan terjadi sebuah pembentukan, pemamfaatan atau pengubahan kebudayaan baru yang masuk ke dalam masyarakat penerima. Pada usaha pembentukan, pemamfaatan, atau pengubahan kebudayaan baru yang sedemikian rupa sehingga pada akhirnya menjadi milik masyarakat.
Proses interkulturalisasi ini terjadi karena adanya relasi-relasi antar budaya dan dalam interkulturalisme, tiap-tiap budaya tumbuh berkembang sambil sengaja giat bergaul dengan yang lain, tidak sekadar membiarkan involusi dalam diri masing-masing. Berdasarkan beberapa faktor yang mempengaruhi terjadinya interkulturalisasi bahasa melayu terhadap relasi-relasi antara budaya tersebut diantaranya, pertama, faktor agama, yaitu untuk penyebaran agama dan kebudayaan Islam. Islam disebarkan dengan menggunakan bahasa melayu, karena untuk mudah memahami bahasa lokal yaitu bahasa Aceh itu sendiri.
Kedua, faktor ekonomi, Bahasa Melayu merupakan bahasa yang digunakan sebagai perantara untuk berdagang.
Ketiga, faktor politik, yaitu untuk berkomunikasi dan untuk menjalin kerja sama dengan pemerintah-pemerintah atau kerajaan Aceh, dan melalui bahasa melayu bisa mengetahui bagaimana masyarakat, bangsa atau Negara tertentu.
Penulis :Oktavia Rizki Fadila.
Sastra Minangkabau Universitas Andalas