by

Pasca Keputusan MK, Saatnya Partai Politik Lepas dari Jeratan Oligarki

ssputarnews.com /

Oleh: Sony Fitrah Perizal, Ketua Jaringan Media Siber Indonesia (JMSI) Jawa Barat

KEPUTUSAN Mahkamah Konstitusi (MK) yang mengabulkan sebagian gugatan Partai Buruh dan Partai Gelora terhadap Pasal 40 ayat (3) UU Pilkada merupakan titik terang bagi pembangunan demokrasi Indonesia. Dengan keputusan ini, partai politik atau gabungan partai politik peserta Pemilu dapat mengajukan calon kepala daerah meskipun tidak memiliki kursi di DPRD. Hal ini membuka peluang bagi partai-partai kecil atau baru untuk ikut serta dalam kontestasi politik tanpa harus tunduk pada oligarki politik yang selama ini membelenggu sistem politik Indonesia.

Oligarki dalam politik Indonesia, yang sering disebut sebagai kartel partai politik, telah menjadi fenomena yang mencengkeram demokrasi sejak era reformasi. Dalam sistem ini, partai-partai politik utama mendominasi panggung politik dan mempersempit ruang gerak partai-partai kecil serta independen. Oligarki ini tercipta karena partai-partai besar memiliki kekuatan finansial dan dukungan struktural yang memungkinkan mereka mendominasi proses politik, termasuk dalam pemilihan kepala daerah.

Teori sosiologis Maurice Duverger menyatakan bahwa sistem kepartaian sangat dipengaruhi oleh struktur sosial masyarakat. Di Indonesia, struktur sosial yang kompleks dan beragam seharusnya menciptakan sistem multipartai yang dinamis dan representatif. Namun, kenyataannya, sistem ini terdistorsi oleh oligarki yang menjadikan partai-partai besar sebagai pengendali utama dalam proses politik. Sistem kepartaian yang seharusnya merefleksikan keragaman sosial malah menjadi alat bagi segelintir elit untuk mempertahankan kekuasaan.

Keputusan MK ini harus dipandang sebagai peluang bagi partai-partai politik untuk kembali kepada fungsi dasarnya dalam sistem politik. Teori institusional mengajarkan bahwa partai politik adalah produk dari institusi politik dan hukum yang ada dalam sebuah negara. Dalam konteks Indonesia, undang-undang pemilu dan aturan main politik yang ada telah lama mendukung dominasi partai-partai besar. Dengan perubahan ini, partai-partai politik memiliki kesempatan untuk membebaskan diri dari cengkeraman oligarki dan kembali menjadi representasi sejati dari masyarakat.

Baca juga:  Kadisdik Jabar Hadiri GTK Minisoccer Tournament Cadisdikwil VI di Lapang Minisoccer Madani Cianjur

Namun, perubahan ini tidak serta-merta akan mengakhiri dominasi oligarki dalam politik Indonesia. Teori pilihan rasional menekankan bahwa partai politik adalah koalisi individu-individu dengan tujuan bersama. Dalam banyak kasus, tujuan ini tidak hanya berorientasi pada kepentingan publik, tetapi juga pada keuntungan pribadi dan kelompok. Oleh karena itu, meskipun syarat pengusulan calon kepala daerah telah diubah, tantangan bagi partai-partai kecil dan baru untuk menembus dominasi partai-partai besar tetap ada.

Di sinilah pentingnya fungsi partai politik dalam sistem politik untuk menjalankan peran mereka secara lebih optimal. Partai politik tidak hanya harus berperan dalam rekrutmen politik dan mobilisasi partisipasi politik, tetapi juga dalam agregasi dan artikulasi kepentingan masyarakat. Partai politik harus kembali menjadi jembatan antara masyarakat dan pemerintah, menyuarakan kepentingan rakyat dalam proses pembuatan kebijakan.

Fungsi sosialisasi politik juga tidak kalah pentingnya. Partai politik harus mendidik masyarakat tentang pentingnya partisipasi politik dan memberikan informasi yang jelas tentang pilihan-pilihan politik yang ada. Dengan demikian, masyarakat dapat membuat keputusan yang lebih cerdas dalam pemilu, tidak hanya berdasarkan popularitas calon, tetapi juga berdasarkan visi dan misi yang mereka tawarkan.

Lebih dari itu, partai politik juga harus memainkan peran dalam pengendalian pemerintahan. Dalam konteks ini, partai politik yang berhasil memenangkan pemilu harus bertanggung jawab atas implementasi kebijakan yang mereka janjikan kepada rakyat. Partai politik harus menjamin bahwa pemerintah bekerja sesuai dengan mandat yang diberikan oleh pemilih, bukan berdasarkan kepentingan segelintir elit.

Keputusan MK juga harus dilihat sebagai kesempatan untuk mereformasi sistem politik Indonesia yang selama ini terjebak dalam pola-pola oligarki. Partai-partai politik yang serius dengan ideologi dan visi mereka harus melihat keputusan ini sebagai peluang untuk memperkuat posisi mereka dan memperjuangkan kepentingan rakyat secara lebih efektif. Dengan demikian, demokrasi Indonesia dapat kembali ke jalur yang benar, di mana kekuasaan politik benar-benar berada di tangan rakyat, bukan di tangan segelintir elit yang mempergunakan partai politik sebagai alat untuk mempertahankan kekuasaan mereka.

Baca juga:  Pimpin Rapim, Gubernur Ridwan Kamil Kaji Rute Kereta Gantung

Namun, untuk mencapai hal ini, diperlukan komitmen dari semua aktor politik, termasuk partai-partai besar, untuk menghormati prinsip-prinsip demokrasi dan menjalankan fungsi mereka dengan penuh tanggung jawab. Hanya dengan demikian, Indonesia dapat lepas dari jeratan oligarki politik dan membangun sistem politik yang lebih adil dan representatif.

Nyaris lupa, dalam konteks Pilkada Serenta 2024, mari kita lihat, beranikah partai partai politik yang sudah memenuhi ambang batas mengusung calon sendiri dan menunjukan jati diri partai atau akan tetap nyaman berkerumun layaknya kartel politik?(*)