Seputar News/ Bandung – Gubernur Jawa Barat Ahmad Heryawan (Aher) menyerahkan secara simbolis Surat Perintah Pencairan Dana (SP2D) hibah dalam acara Pengarahan bersama Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) RI kepada penerima hibah TA 2017, di Aula Barat Gedung Sate Bandung, Kamis (07/12/2017). Tiga Lembaga yang menerima SP2D secara simbolis tersebut antara lain Kopertis Wilayah II Jawa Barat, Forum Komunikasi Penyuluh Agama Islam (FKPAI) dan Yayasan Alumni Al Azhar.
Dalam sambutannya Aher menegaskan bahwa tidak patut ada aksi perantara yang meminta “jatah” dari dana hibah. Menurutnya, aksi perantara menjadikan pelakunya hanya sebagai relawan, dan tidak berhak mengambil presentase dana. Aher menghimbau kepada seluruh lembaga penerima hibah untuk menolak memberikan sebagian dana hibahnya kepada siapapu dan untuk alasan apapun, karena sejatinya dana hibah tersebut merupakan amanah untuk pembangunan dan kegiatan sebagaimana tertera pada proposal yang diajukan.
“Kalau ada yang nagih, tolak! Sebab dana ini murni milik lembaga yang bersangkutan untuk kegiatan sebagaimana yang tertera pada proposal, pada kesepahaman, pada NPHD (Naskah Perjanjian Hibah Daerah),” pungkas Aher ditemui usai acara.
“Kalau mau mencari upah, jangan disitu bergeraknya, di sosial. Pokoknya aturannya ini dana sepenuhnya untuk pembangunan dan kegiatan sebagaimana tertera pada proposal. Tidak ada pihak-pihak yang dianggap berjasa untuk diberikan presentase, tidak ada pihak-pihak yang harus diterimakasihi dalam arti diberi sesuatu,” sambungnya.
KPK, lanjut Aher, memiliki seluruh data penerima dana hibah dari pemerintah provinsi Jabar. Tak hanya lembaga-lembaga penerima dana hibah, KPK juga memegang data bantuan keuangan ke Kabupaten/Kota, sehingga seluruh pihak penerima dana tidak bisa macam-macam dibawah pengawasan KPK.
“KPK kan sekarang mengawasi terus. Jadi siapa saja di provinsi yang dapat bantuan, dikasihkan (datanya) ke dia (KPK). Jadi jangan macam-macam, kita tidak tahu mau diapain sama KPK,” ujar Aher tegas.
Menyambung pernyataan Aher tersebut, Kepala Satgas Koordinasi, Supervisi dan Pencegahan (Korsupgah) Wilayah II KPK RI Asep Rahmat Suwanda mengungkapkan bahwa selalu ada resiko pelanggaran yang cukup besar dalam konteks dana hibah, karena prosesnya melibatkan banyak pihak. Ia pun mengaku, kejadian “mediator dana hibah” ini pernah terjadi di salah satu wilayah Jawa Barat. Para mediator ini, kata Asep, melibatkan unsur penyelenggara negara baik eksekutif maupun legislatif, yang mengkoordinir proses hibah mulai dari penyusunan proposal hingga membantu kelancaran diterimanya proposal. Asep memastikan setiap tahunnya selalu menerima laporan dugaan kasus seperti ini.
“Kalau dari sisi pemprov-nya sudah jelas, pasti nyampenya utuh karena via transfer bank, lewat elektronik, ga mungkin lah di tengah jalan berkurang. Tapi siapa yang bisa memastikan bahwa (dana) itu ketika diambil terus digunakan sesuai agreement pada waktu penyusunan proposal. Maka ketika dicairkan full tapi dia sisihkan untuk entah siapa itu,” papar Asep.
“Bisa dipastikan setiap tahun pasti ada laporan dugaan kasus, karena hibah itu selalu menduduki laporan tertinggi, selain PBJ, perijinan, kepegawaian, dan soal pengelolaan APBD,” ujarnya.
Disinggung terkait penghentian sementara penyaluran dana hibah menjelang masa pemilihan kepala daerah (Pilkada), Asep mengutarakan bahwa pihaknya telah melakukan penelitian di tahun 2013 untuk menghentikan dana hibah bantuan sosial (bansos), karena ada dugaan dana bansos tersebut digunakan untuk kepentingan kontestasi politik. Namun Asep menekankan, dalam konteks tersebut KPK tidak bisa melakukan konfirmasi dan antisipasi korupsi, karena tidak ada unsur pasal korupsi yang melarang hal tersebut.
“Kalau naiknya 100% hibah berarti korupsi, itu ga ada (pasalnya). Tapi kalau misalnya dalam penyalurannya itu digunakan untuk kepentingan pribadi, ada penyalurannya (bukti penggunaan dana) dan segala macam, itu baru (masuk pasal),” ungkap Asep